masukkan script iklan disini
Ditulis oleh YUS DHARMAN,SH.,MM.,M.Kn
ADVOKAT/KETUA DEWAS FAPRI ( Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)
Jakarta, Globalfaktual-com -12 Sept 2024
Saeculum obscurum, secara metaforis menggambarkan periode dalam masyarakat yang ditandai dengan ketidakpastian, kekacauan, atau kemunduran.
Dalam sejarah pada abad ke-10, para paus dipengaruhi dan dikendalikan oleh keluarga Aristokrat Romawi yang berkuasa dan korup yang disebut Theophylacti. Istilah ini juga dikenal sebagai "Pemerintahan Para Pelacur" atau Pornokrasi dan mewakili salah satu titik terendah dalam sejarah di eropa
Selama periode ini, banyak pencapaian ilmu pengetahuan, ekonomi dan budaya kuno yang hilang atau dilupakan, sehingga masyarakat Eropa mengalami kemunduran dalam segala hal.
Keluarga Theophylacti lah yang mengendalikan kekuasaan termasuk pemilihan Paus, syarat naik takhta menjadi Paus, bukan berasal dari orang saleh, melainkan karena rekayasa politik & patronase keluarga.
Para Sejarawan menyebut masa itu “zaman gelap” karena kemerosotan moral dan hilangnya wibawa kepausan.
Bandingkan dengan keadaan Di Indonesia sekarang, adanya dinasti politik (keluarga tertentu yang menguasai jabatan eksekutif, legislatif da yudikatif ) dipengaruhi loyalitas politik, bukan kompetensi.
Saat ini, Indonesia menghadapi krisis kepercayaan publik terhadap APH (KPK, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) akibat kasus korupsi, manipulasi hukum, dan politisasi, sering muncul narasi tentang figur yang tidak resmi tapi berpengaruh besar di balik kekuasaan formal.
Saat itu, Saeculum Obscurum di Eropa berlangsung dalam struktur monarki religius, sementara Indonesia adalah Republik Demokratis (meski praktiknya sering menyimpang).
Di Roma, perebutan kursi Paus terkait legitimasi rohani sekaligus politik, sedangkan di Indonesia lebih ke arah politik elektoral dan kontrol sumber daya ekonomi.
Refleksi untuk Indonesia adalah Jika Saeculum Obscurum abad pertengahan di eropa melahirkan dorongan reformasi gereja (Cluny, Otto I), maka di Indonesia situasi yang mirip “zaman gelap” ini bisa menjadi pemicu lahirnya gerakan reformasi baru.
Intinya: kekuasaan yang terlalu terkonsentrasi pada satu keluarga/kelompok kecil akan menimbulkan krisis legitimasi, korupsi moral, dan perlawanan rakyat seperti yg baru-baru ini terjadi.
Jadi, kaitan Saeculum Obscurum dengan Indonesia saat ini adalah sebagai cermin: Bahwa ketika jabatan publik dikuasai dinasti, moralitas runtuh, dan hukum dipolitisasi, maka sebuah negara berpotensi masuk ke “zaman gelap” yang hanya bisa keluar lewat reformasi struktural dan moral.
Narsum: YUS DHARMAN,